Mahasiswa UNTIDAR Ikuti Kuliah Umum Kepemimpinan Kolektif Kolegial Bersama Prof. Dr. Abdul Mu’ti M. Ed.
“Pemimpin yang dibutuhkan di masa depan adalah pemimpin yang mampu mengelola perbedaan. Kuncinya adalah kolaborasi, ada proses sharing resources dan sharing expertise. Hal ini sangat mungkin dilakukan kalau punya visi dan pandangan yang terbuka, kuncinya harus mau open minded,” tegas Prof. Dr. Abdul Mu’ti, M.Ed., saat memberikan kuliah umum bertema ‘Kepemimpinan Kolektif Kolegial’, Rabu (15/2). Kegiatan berlangsung di Auditorium UNTIDAR, Gedung dr. H.R. Suparsono, diikuti oleh 500-an audiens yang terdiri dari dosen, tenaga kependidikan, dan mahasiswa UNTIDAR.
“Mahasiswa saat ini adalah calon pemimpin era Indonesia Emas di tahun 2045. Untuk itulah perlu diberikan bekal terkait ilmu leadership/kepemimpinan. Merupakan suatu kehormatan Prof. Dr. Abdul Mu’ti, M.Ed., selaku Sekretaris Umum PP Muhammadiyah bisa hadir sebagai pembicara, dan memberikan pencerahan terkait model Kepemimpinan Kolektif Kolegial,” tutur Dr. Ericka Dharmawan, S.Si., M.Pd. dalam laporannya.
Prof. Dr. Sugiyarto, M.Si. dalam sambutannya menyampaikan bahwa pembentukan karakter pemimpin yang baik, harus dimulai sejak jadi mahasiswa. “Dari model kepemimpinan Kolektif Kolegial kita belajar menghormati perbedaan. Indonesia begitu beraneka ragam, dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasar Bhineka Tunggal Ika. Mahasiswa harus mulai belajar menempa diri, bersiap menjadi pemimpin yang bijak, baik, visioner, dan membawa kemajuan bagi NKRI,” tegasnya.
Dalam paparannya, Prof. Abdul Mu’ti menjelaskan tentang 2 model kepemimpinan politik, merujuk pada Archie Brown (2017) dalam The Myth of Strong Leader. Yang pertama adalah model ‘Strong Man’, dimana seorang pemimpin begitu dominan dalam pengambilan kebijakan dan pengambilan keputusan, dan yang kedua kepemimpinan kolegial, dimana seorang pemimpin bersikap kooperatif dan bekerjasama dengan yang lain. “Kalau kita flashback ke belakang, banyak cerita tentang pemimpin negara yang mengalami kegagalan setelah belasan atau puluhan tahun berkuasa karena cenderung bergaya ‘Strong Man’, sebut saja Anwar Sadat, atau Muammar Khadafi. Di awal memerintah berbagai pencapaian diraih, namun setelah belasan atau puluhan tahun, gaya ‘one man show’menunjukkan kalau pada akhirnya terjerumus pada jurang kegagalan,” tandasnya.
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa di era sekarang kata kuncinya adalah networking dan kolaborasi. Bukan sentralitas pada orang tertentu, melainkan mengedepankan kemitraan, kolaborasi, dan teamwork. “Ada hal yang penting untuk diperhatikan dalam kepemimpinan Kolektif Kolegial yaitu semuanya tersistem dengan baik. Berbasis sistem bukan sinten, berdasar SOP bukan ‘sopo’, tuturnya.
“Saya juga perlu menjelaskan dasar filosofis, psikologis, teologis, dan historis dari model kepemimpinan Kolektif Kolegial, yaitu bahwa kepemimpinan adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan manusia dan Tuhan, manusia memiliki kelebihan dan kekurangan, manusia merasa terhormat atau bahagia apabila memiliki atau diberi peran, pengakuan dan kesempatan, mengurangi kemungkinan kesalahan dalam pengambilan keputusan, dan banyaknya pemimpin besar yang gagal,” urainya.
Kuliah umum kali ini mengambil kesimpulan bahwa Perguruan Tinggi adalah institusi pendidikan yang terdiri atas para cendekiawan (mahasiswa, dosen, tenaga kependidikan), yang memiliki otoritas keilmuan, kemandirian, kebebasan, rasa percaya diri, keyakinan, sikap egaliter, dan tanggung jawab yang tinggi dalam mewujudkan idealisme. Kepemimpinan Kolektif Kolegial di perguruan tinggi mampu mewujudkan harmoni, kebersamaan, dan situasi yang sehat untuk menjadikan kampus miniatur masyarakat yang maju dan berkeadaban.
Humas UNTIDAR
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!