Bahasa dan Identitas Keindonesiaan
KETIKA bahasa Indonesia carut-marut, siapa yang berwenang menertibkannya? Ketua Himpunan Pembina Bahasa Indonesia (HPBI), Drs Mukh Doyin MSi, menunjuk sejumlah nama, antara lain Pusat Bahasa, lembaga pendidikan, dan media massa.
Namun sayang, institusi-institusi itu belum mengoptimalkan wewenangnya.
Dengan analogi kisah Tiongkok kuna, Doyin dalam seminar nasional “Pemartabatan Bahasa Indonesia Melalui Pendidikan di Media Massa” di Kantor Suara Merdeka, Jl Kaligawe, Jumat (24/10), menyarankan pusat bahasa, lembaga pendidikan, dan media massa, meniru cara Sun Tzu. Untuk menertibkan 150 istri kaisar ia bertindak tegas dengan memancung tiga orang di antaranya.
Sejauh ini, ujar Doyin, lembaga-lembaga itu belum konsisten dalam penerapan kaidah bahasa Indonesia. Dia mencontohkan Pusat Bahasa yang mendua ketika berhadapan dengan kata memprogram dan pemrograman. Kenapa yang satu luluh, yang lain tidak?
“Konsistensi adalah sesuatu yang harus kita perjuangkan. Dengan konsistensi itulah kita akan dikenal, dihargai, atau paling tidak disegani orang. Jika aturan-aturan yang kita terapkan logis dan kita lakukan secara taat asas, saya yakin penghormatan kepada bahasa Indonesia akan lebih besar daripada saat ini,” kata Mukh Doyin.
Dia lebih lanjut memaparkan bahwa lembaga pendidikan dan media massa punya peran vital dalam memartabatkan bahasa Indonesia. Peran mereka bahkan lebih penting dari institusi lainnya. Ketika keduanya berani menegakkan kaidah berbahasa, masyarakat serta-merta akan mengikutinya.
Pembicara lain, Rektor Universitas Tidar Magelang Dr Cahyo Yusuf menilai, sistem pembelajaran bahasa Indonesia yang ada saat ini harus diperbaharui. Jika masih mewarisi sistem pembelajaran lama, selamanya bahasa Indonesia tidak akan bermartabat. Kurikulum belum disusun secara sistematis dan membuat penutur taat asas.
“Mana yang benar, apakah “penglepasan” atau “pelepasan” tidak terjelaskan dengan baik. Itu karena kita selama ini masih menggunakan unsur penataan kata demi kata. Padahal jika dikaji secara morfologis, dengan model item and process, itu bisa dijelaskan,” kata Cahyo dalam seminar yang diselenggarakan Balai Bahasa Jateng, HPBI, dan Suara Merdeka itu.
Terancam Bahasa Asing
Sementara, Kepala Balai Bahasa Jateng Drs Widodo Adisaputro MHum menyorot eksistensi bahasa Indonesia yang terancam oleh bahasa asing. Penutur muda, kata dia, kini cenderung memosisikan bahasa asing sebagai bahasa utama, sedangkan Bahasa Indonesia sekadar menjadi bahasa kedua.
Dalam situasi semacam ini, muncul kekhawatiran Bahasa Indonesia akan bernasib serupa dengan Bahasa Melayu di Malaysia. Sebagai bahasa negara, justru ditinggalkan oleh penuturnya.
Dalam konsitusi, Bahasa Indonesia diposisikan sebagai bahasa resmi kenegaraan dan pengantar dalam sistem pendidikan. Bahasa asing tidak bisa menggantikan posisi itu.
“Kita tidak antibahasa asing. Kita perlu dan harus menguasai bahasa asing. Kendati demikian, bahasa asing hendaknya diposisikan pada kedudukan yang semestinya.
Jangan sampai bahasa asing digunakan dalam komunikasi sehari-hari di kantor, atau di sekolah.
Bahasa, ujar Widodo, punya pengaruh yang sangat luas. Ia memiliki pengaruh langsung dalam sistem budaya, ideologi, dan situasi keindonesiaan.
“Kalau masalah ini tidak ditangani dari sekarang, identitas keindonesiaan akan terancam hilang.”
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!